Laman

Minggu, 29 Mei 2011

'Nak, Kampus Negeri Hanya Untuk Orang Kaya'


MESKI anak perempuannya diterima di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Jawa Tengah, Warji, warga Desa Ngajaran, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang tak lantas bergembira. Sebaliknya, ia justru harus meneteskan air mata.

Betapa tidak. Aini Machmudah, anaknya yang diterima di PTN peringkat 32 dunia melalui jalur undangan, justru mengharuskannya pontang panting. Ia yang hanya seorang perangkat desa dengan bengkok tak sebegitu luas harus menyediakan kocek tak kurang dari Rp7 juta, kontan sebelum 30 Mei 2011.

Padahal, saat anaknya mendaftarkan diri untuk kuliah, dalam harapnya, Aini akan mendapatkan keringanan biaya dari kampus yang kerap disebut sebagai perguruan tinggi konservasi tersebut. "Jika penghasilan kami yang hanya sekitar Rp500 ribu per bulan diminta menyediakan uang tak kurang dari Rp7 juta dalam sekejap, apakah saya harus juga bilang 'Nak, urungkan niatmu menjadi sarjana, karena kampus negeri hanya untuk orang kaya'," katanya.

Jika ditilik dari artinya secara umum, mestinya julukan kampus konservasi yang selama ini melekat pada perguruan tinggi tempat Aini akan kuliah, mampu melakukan pelestarian atau perlindungan pada calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu atau miskin, bukan malah mengedepankan sumbangan.

Maka tetesan air mata Warji seakan menunjukkan bahwa pendidikan tinggi hanya untuk orang berada. Apa ini juga berarti, jika anak seorang tak mampu, dilarang berada di perguruan tinggi untuk menuntut ilmu .

Kampus negeri sepertinya hanya untuk orang kaya. Orang miskin dilarang masuk kampus untuk belajar. Yang boleh belajar di kampus adalah orang-orang kaya. Sementara, jika pendidikan tinggi adalah salah satu pintu masuk untuk mengubah kehidupan agar lebih baik, pintu itu sekarang sudah perlahan-lahan ditutup, katanya.

"Semoga saya tetap teguh menahan diri untuk tidak mengorupsi jatah bantuan warga hanya untuk ini," katanya.

Wahyu Salvana, seorang aktivitis pendidikan yang kini menjadi Koordinator Pesantren Kilat Sukses SNMPTN 2011 bagi calon mahasiswa berasal dari keluarga kurang mampu di Kabupaten Rembang mengemukakan hal senada.

Dikatakannya, negeri yang mengklaim berdasarkan Pancasila, yang berdasarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial masih menempatkan perguruan tinggi negeri sebagai penampung kaum berharta. Sementara anak orang miskin, semakin tak diberi ruang untuk sekedar mewujudkan asa.

"Hak mendapatkan perlakuan sama dalam pengajaran sebagaimana amanat UUD 1945, seakan semboyan belaka bahkan hanya retorika," katanya.

Ia mengaku prihatin dengan nasib yang menimpa Aini Machmudah yang juga peserta Sanlat yang dikelolanya. "Orang miskin di negeri ini mungkin hanya dianggap sebagai angka-angka, bukan warga negara," katanya.

Pihaknya akan mengadukan hal tersebut ke Kementerian Pendidikan Nasional agar di kemudiaannya anak dari keluarga miskin atau kurang mampu mendapatkan perlakuan selayaknya.

"Jangan sampai, mereka (anak dari keluarga kurang mampu) harus mengaborsi keinginannya menjadi sarjana, hanya karena kurang biaya. Negara harus turut serta memikirkannya. Berikan pula para orang tua kesempatan melihat anaknya mendapati kehidupan anaknya yang lebih baik," katanya. (Pujianto-02)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar